Siang itu, pantai Kenjeran Surabaya, ada acara pagelaran wayang kulit “17 Agustus-an”. Secara kebetulan, kami berempat, Papa (budayawan Gatut Kusumo); budayawan Prof. Umar Kayam; Menteri Penerangan Boediardjo; dan saya, bersama-sama menghadiri acara pagelaran itu. Kami berempat duduk di pasir beralaskan tikar yang sudah disediakan oleh panitia.
Sambil menikmati “antawecana” ki Dalang, saya sempatkan bertanya kepada Prof. Kayam, apakah tipe Yudistira itu model kepemimpinannya masih relevan?
“Oh tidak!,” jawan Prof. Kayam. Lalu beliau melanjutkan, bahwa jangan heran bila saatnya nanti Yudistira tidak akan diterima sebagai model pemimpin negara, tetapi Kresna. Karena kesempurnaan, keadilan, dan kebersihan Yudistira terlalu “mengerikan” dibandingkan dengan kebijaksanaan Kresna, yang sering kali penuh dengan tipu muslihat.
“Memang, wayang akan berjalan terus,” lanjut Prof. Kayam, bahwa wayang telah menjadi “galih asem”, karena telah mengarungi suatu perjalanan yang amat panjang, lewat berbagai ruang dan dimensi. Kehadiran wayang dalam usia setua itu, dan dalam persimpangan jalan pergantian kurun seperti sekarang ini, mau tidak mau, pasti sampai kepada satu idiom yang baru. Karena dimensi dan bahasa waktu sekarang menuntut demikian.
Ya, wayang pasti sampai pada pergeseran image dan identifikasi baru, karena dimensi dan bahasa waktu menuntut begitu.
Nah, hendaknya dipertimbangkan uraian Prof. Kayam sebaik-baiknya, karena terjadinya perubahan atau pergeseran tidak selalu begitu jalannya. Masih tergantung, bagaimana tanggapan para budayawan.***
Sambil menikmati “antawecana” ki Dalang, saya sempatkan bertanya kepada Prof. Kayam, apakah tipe Yudistira itu model kepemimpinannya masih relevan?
“Oh tidak!,” jawan Prof. Kayam. Lalu beliau melanjutkan, bahwa jangan heran bila saatnya nanti Yudistira tidak akan diterima sebagai model pemimpin negara, tetapi Kresna. Karena kesempurnaan, keadilan, dan kebersihan Yudistira terlalu “mengerikan” dibandingkan dengan kebijaksanaan Kresna, yang sering kali penuh dengan tipu muslihat.
“Memang, wayang akan berjalan terus,” lanjut Prof. Kayam, bahwa wayang telah menjadi “galih asem”, karena telah mengarungi suatu perjalanan yang amat panjang, lewat berbagai ruang dan dimensi. Kehadiran wayang dalam usia setua itu, dan dalam persimpangan jalan pergantian kurun seperti sekarang ini, mau tidak mau, pasti sampai kepada satu idiom yang baru. Karena dimensi dan bahasa waktu sekarang menuntut demikian.
Ya, wayang pasti sampai pada pergeseran image dan identifikasi baru, karena dimensi dan bahasa waktu menuntut begitu.
Nah, hendaknya dipertimbangkan uraian Prof. Kayam sebaik-baiknya, karena terjadinya perubahan atau pergeseran tidak selalu begitu jalannya. Masih tergantung, bagaimana tanggapan para budayawan.***